.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Duet Maut Dan Revolusi Demokrat

imago.or.id - Terpilihnya Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas) putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendiri Partai Demokrat (PD) akhirnya mendapat kepercayaan untuk mendampingi nahkoda pemerintahan Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-2015. Memang, secara politis berkecimpungnya Ibas yang terpilih mendampingi Anas terkesan sangat terlalu dini. Pasalnya, banyak pihak yang merasa pengalaman berpolitik Ibas belum cukup mumpuni. Ini dibuktikan dengan terjunnya Ibas di gelanggang perpolitikan tanah air lantaran sokongan dari pengaruh bapaknya.

Nama Ibas sendiri, yang sering disebut-sebut putra mahkota Yudhoyono ini, bisa dikatakan salah satu langkah dalam proses pengkaderan di tubuh internal Demokrat. Ada kesan entry point lebih, ketika Ibas ditunjuk untuk mendampingi Anas. Pertama, sedikit lebih maju dalam hal pengkaderan. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa ternyata momentum kepemimpinan pemuda telah mendapat apresiasi.

Apresiasi itu tidak hanya sekedar jargon dan legalitas semata. Namun labih dari itu, kepercayaan para 'senior-senior' Partai Demokrat terhadap generasi muda sekiranya sudah cukup untuk dijadikan alasan bagaimana pentingnya akan kaderisasi yang sehat. Kondisi ini tak lepas dengan sikap loyalitas serta interaksi komunikatif yang sifatnya massif oleh partai yang memiliki warna khas biru tersebut. Hal ini berbeda dengan partai-partai politik lainnya.

Seperti contoh Partai Golkar. Partai berlambang pohon beringin itu sempat mengalami masa-masa sulit. Yang mana pasca masa transisi era reformasi guncangan hebat pernah mendera internal tubuh Golkar. Persoalan itu muncul karena diindikasikan Partai Golkar telah terjadi disregeneration (matinya regenerasi). Disregeneration itu diakui sendiri oleh mantan Ketuan Umum Golkar Yusuf Kalla (2009) yang mengatakan bahwa Partai Golkar sedang mengalami krisis kaderisasi.

Terlepas dari hal itu, bagaimana pun semuanya telah menandakan bahwa betapa urgen dan vitalnya proses regenerasi, tentunya bukan regenarasi yang mengedepankan oportunisme. Hal inilah yang sekiranya ingin ditampakkan oleh partai Demokrat. Duet tokoh muda ini telah menyiratkan seakan Partai Demokrat menjadi partainya para pemuda. Mungkinkah demikian?

Entry point yang kedua adalah terciptanyaan kedewasaan dalam proses berpolitik. Argument ini lebih ditekankan pada aspek sifat legowo. Terpilihnya duet Anas-Ibas yang sama-sama merepresentasikan kaum pemuda menjadi moment puitik. Dimana aktualisasi sebuah kepimpinan tidak memandang status. PD lewat pasangan Anas-Ibas tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa siapun orangnya entah muda ataupun tua, jika memang memiliki kapasitas dan kualitas berpolitik yang mumpuni ia berhak memilih dan dipilih.

Mengapa Harus Ibas?

Ditunjuknya Ibas sebagai wakil ketua Partai Demokrat (PD), menyisakan tanda tanya besar. Pasalnya ditubuh PD sendiri banyak sekali tokoh-tokoh yang memiliki kapasitas dan jam terbang lebih tinggi dibandingkan Ibas. Dan pertanyaan itu, mengapa harus Ibas? Padahal sederet nama yang sudah tak diragukan lagi akan kepiawaian dalam berpolitik praktis begitu banyak. Sebut saja seperti Direktur Eksekutif Imparsial Rachlan Nasidiq, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdalla, pengamat politik Kastorius Sinaga dan beberapa nama top lainnya.

Secara skill dan kemampuan, mereka lebih unggul dibanding Ibas yang mengenal dunia politik praktis baru kemarin. Kondisi ini kian menguatkan akan pembacaan publik atas politik dinasti yang masih kuat di partai politik negeri ini. Maka, benar seperti diduga pengamat sebelumnya, siapa pun yang akan memimpin partai, apakah Marzuki Alie, Anas Urbaningrum, atau pun Andi Mallarangeng, Ibas tetap akan mendapatkan posisi strategis dan terhormat. Ia menjadi simbol ”hegemoni” Cikeas.

Bagaimanapun jargon demokratis dalam ranah partai politik masih jauh dari atas panggang. Artinya, walau gagasan-gagasan dan ide demokrasi diumbar dan diserukan, tetap politik ‘nipotisme’ terus berlanjut. Entah sadar atau tidak, jika tindakan politik ‘nepotisme’ yang dipratekkan mereka, sejatinya telah melukai asas demokrasi yang selama ini mereka gaungkan dan mereka junjung. Itulah “kehebatan” politik bangsa ini, susah membedakan mana yang salah dan benar. Bahkan para politisi kita sudah buta nurani, mereka menilai antara salah dan benar adalah sama.

Hal serupa juga terjadi di PDI Perjuangan. Dimana politik dinasti tetap tak bisa dielakkan. Sang pewaris tahta dari Megawati ke Puan Maharani. Selain PD dan PDI Perjuangan, PAN pun melakukan langkah yang sama. Sungguh betapa mengakar kuatnya politik dinasti di negeri ini. Lantas salahkah demokrasi kita, jika ternyata demokrasi yang dimaknai kebebasan memilih dan dipilih tanpa intervensi pihak manapun ‘gagal’ saat diaktualisasikan? Atau mungkin, karena bangsa ini sudah terlalu ‘pintar’ dalam membumikan prinsip demokrasi? Sehingga menjadikan semuanya tidak jelas. Tidak jelas akan arah langkahnya sendiri.

Biarlah semua pertanyaan itu selamanya tetap menjadi pertanyaan. Terlepas dari hal itu, argumen publik yang menilai naiknya Ibas sebagai sekjen terlalu dini memang benar, namun di sisi lain hal itu justru menunjukkan semacam bentuk revolusi Demokrat. Sebuah revolusi yang bisa disebut sebagai revolusi kepengurusan di tubuh partai. Di tengah lambatnya kaderisasi di internal partai, PD justru terbukti berhasil melakukan regenerasi. Gerakan PD merupakan starting point dalam memantapkan agenda politik ke depan. Kenyataan ini menjadi ancaman serius bagi partai lain yang masih mengandalkan kepemimpinan dari generasi tuanya.

[Harian Jogja, 21Juni 2010]
Oleh: M. Romandhon MK, Aktivis Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) UIN Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk