.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Nuzulul Qur’an dan Teologi Antikorupsi

imago.or.id - Tepat pada malam 17 bulan ramadhan, semua umat muslim memperingati moment yang sangat penting, yaitu nuzulul qur’an. Sudah menjadi tradisi rutinan di bulan suci puasa, nuzulul qur’an selalu menjadi peringatan yang ditunggu-tunggu. Ketika memperbincangkan nuzulul qur’an selalu saja tidak bisa dilepaskan dengan malam lailatul qodar. Yaitu malam yang penuh rahman dan rahim Allah SWT dengan membersihkan ampunan dari dosa.

Secara harfiah nuzulul qur’an berarti turunnya Al Qur’an. Hal ini merupakan istilah yang merujuk kepada peristiwa penting terkait penurunan wahyu Allah pertama kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril itu terkenal dengan moment special Nabi Muhammad, dimana isi dalam wahyu tersebut sejatinya menuntun manusia keluar dari lubang hitam dan pekat.

Wahyu yang pertama itu adalah surat Al Alaq (1-5). Sangat jelas sekali bahwa dalam wahyu pertama yang ditekankan oleh Allah kepada Muhammad untuk seluruh umat manusia adalah sebuah pentingnya pengetahuan. Pengetahuan yang didasarkan membaca. Makna membaca dalam konteks ini bisa bermacam-macam. Seperti membaca hal-hal yang membuat manusia tahu dan lepas dari kebodohan (jahlun). Artinya, pengetahuan menjadi kunci pertama manusia untuk mengetahui dan menuju pada sang khalik yaitu Allah SWT.

Ada yang menarik dalam wahyu pertama, selain isinya yang memerintah untuk membaca demi pengetahuan. Dimana saat wahyu itu diturunkan Nabi Muhammad SAW sedang berada di Gua Hira. Secara historis turunya surat Al Alaq tersebut sebenarnya ada makna yang luar biasa besar yang terkandung di dalamnya. Yaitu bahwa proses yang dilakukan Nabi Muhammad dengan bertafakkur di dalam Gua Hira adalah bukti bahwa kesadaran manusia untuk merefleksikan segala persoalan adalah sangat penting.

Inilah mengapa peringatan nuzulul qur’an menjadi ritus tahunan di bulan puasa selalu tidak pernah dilewatkan bahkan menjadi “kewajiban”. Selain sebagai moment perefleksian diri, nuzulul qur’an juga merupakan sebuah artikulasi dari bentuk puncak spiritualitas manusia. Turunya Al Qur’an yang dengan istilah nuzulul qur’an sejatinya adalah representasi pengangkatan derajat manusia dari berbagai hal perbuatan yang dibenci oleh Allah.

Sehingga tidak berlebihan, jika dalam surat Al Alaq (1-5) itu lebih ditegasklan pada pentingnya membaca bagi manusia, tidak lain dan tidak bukan adalah agar manuasia menjadi manusia yang memiliki kesadaran dalam melakukan ketundukan berpikir. Hal ini setidaknya sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh pemikir muda Islam Fauz Noor (2009) dalam karyanya Berfikir Seperi Nabi yang menjelaskan bahwa pada hakikatnya dalam diri manusia adalah ada ketundukan berpikir, kepasrahan total pada pencipta (addin)

Pengekangan Nafsu

Ketika addin mampu diperoleh manusia, disini sentralitas gerakan dan moral manusia berjalan secara dinamis dan balance. Adapun hal-hal yang sifatnya tercela, merugikan orang lain, menzdhalami, tamak dan lain sebagainya akan sirna dengan sendirinya. Ini artinya, sebuah ketundukan berpikir yang di dasarkan pada addin akan mampu merepresentasikan sebuah teologi baru dalam pola pikir manusia. Semisal kasus usang tapi tetap relevan di negeri ini seperti korupsi.

Kita tahu bahwa korupsi yang melanda di bumi Nusantara ini jika memakai istilah kedokteran sudah mencapai stadium empat. Ini menunjukkan bahwa sungguh betapa kronis dan parahnya kejahatan korupsi menggerogoti bangsa ini. Tak pelak lagi kesengsaraan rakyat kecil yang sekian lama diderita kian hari semakin mencekik leher mereka. Karena itulah, mengapa perlu digalakkan gerakkan yakni memberantas korupsi.

Tentunya dalam konteks ini, apa pun yang berhubungan dengan praktek korupsi sebisa mungkin harus dicegah. Lantas bagaimana dengan perealisasiannya? Seperti yang penulis ungkap di atas tadi bahwa moment bulan puasa yang dalam peringatan nuzulul qur’an bisa dijadikan sebagai starting point guna memberantas keserakahan nafsu, ketamakan, dan yang paling besar adalah korupsi. Ini semua bisa dilakukan asalkan addin dan ketundukan berpikir manusia bisa dipahami secara penuh oleh kita semua.

Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam karya magnum opusnya Al-Hikam mengatakan “Bila dua hal membingungkan, maka perhatikanlah mana yang lebih memberatkan hawa nafsu, lalu ikutilah. Sebab, tak akan memberatkan hawa nafsu selain hal yang benar.” Dari pernyataan Ibn ‘Athaillah tersebut bisa ditangkap bahwa watak dari nafsu pada dasarnya selalu menonjolkan diri dan keinginannya setiap saat. Tabir-tabir nafsu selalu membutuhkan perlindungan dan penegasan. Begitu halnya dengan ketamakan dan korupsi yang merajalela di negeri ini juga membutuhkan ketegasan yang jelas.

Yakni ketegasan yang mempertegas (komitmen) jika korupsi harus diberanguskan, setidaknya untuk perindividu diri kita masing-masing. Penanaman kesadaran (addin) semacam ini penting untuk mewujudkan bangsa yang bersih dari korupsi. Secara tidak langsung ini lebih ditetakankan pada sifat pribadi masyarat itu sendiri. Kondisi ini sekaligus sangat memungkinkan untuk dilakukan karena ini menyangkut karakter manusia. Dan tentunya semuanya itu tak lepas dari kesadaran pengetahuan manusia. Sehingga, peringatan nuzulul qur’an kali ini menjadi moment yang tepat untuk  membentuk jiwa-jiwa yang berkarakter dan tentunya bermoral baik. Semoga!

[Posting; Harian Jogja, 27 Ags 2010]
Oleh: M. Romandhon MK, Peneliti Lembah Kajian Peradaban Bangsa, Fak. Adab dan Ilmu Budaya, UIN Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk