.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Ritus Megengan Suku Samin Bojonegoro

imago.or.id - Ada banyak ritual atau tradisi yang bisa kita ditemui jelang bulan puasa. Salah satunya adalah budaya megengan. Seperti biasa tradisi megengan menjadi tradisi khas atau  ritus tahunan yang selalu dijalankan oleh sebagian besar umat Islam di Jawa. Megengan secara verbal merupakan ngirim dungo marang tiyang pejah (mengirim doa kepada orang yang meninggal). Namun, bagaimana tradisi megengan itu ketika dilaksanakan oleh masyarakat Jawa Suku Samin?

Apakah sama tradisi megengan yang dilakukan Suku Samin di Bojonegoro dengan masyarakat Jawa pada umumnya? Di mana ritual megengan diaplikasikan berpusat di masjid yang selanjutnya disusul dengan pembagian kue apem dan pergi berziarah ke makam. Hal itulah yang coba penulis ingin ungkap di tradisi megengan Suku Samin Bojonegoro. Hari-hari mendekati bulan puasa, komunitas adat Samin di Desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, selalu disibukkan dengan tradisi megengan atau kenduri (slametan). Setiap warga di dusun itu saling mengundang warga lain untuk mengikuti tradisi itu di rumahnya.

Di Dusun Jepang, lokasi komunitas Samin Bojonegoro tinggal, bermukim 216 kepala keluarga dengan 572 jiwa. Bila setiap keluarga menggelar tradisi itu, maka mereka benar-benar tidak memiliki waktu untuk melakukan aktivitas lain. Puncak acara biasanya pada dua hari sebelum puasa. Selain membaca doa bersama-sama, tradisi megengan ditutup dengan pemberian buah tangan berupa berkat kepada setiap tamunya saat pulang. Berkat yang disebut disini adalah pembagian buah tangan atau oleh-oleh berupa nasi yang diletakkan dalam besek atau bak kecil dibungkus plastik yang didalamnya terdapat beraneka ragam jajanan pasar, dan tak ketinggalan pemberian kue apem.

Ritus Silaturrahmi Terhadap Leluhur

Mereka mempercai kue apem sebagai sarana memintakan ampunan para leluhur yang sudah meninggal kepada Tuhan. Kata apem sendiri merupakan saduran dari bahasa Arab yaitu afwan, yang artinya pangapura (ampunan). Di mana tradisi ini diyakini oleh masyarakat Samin Bojonegoro sebagai bentuk silaturrahmi terhadap para leluhur. Dalam pelaksanaannya, tradisi megengan didahului dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh kamitua setempat. Kamitua adalah sesepuh masyarakat Samin yang dipandang memiliki karisma dan ilmu yang tinggi. Dan biasanya kamitua merupakan publik figur bagi masyarakat setempat.

Tradisi megengan ini sudah mendarah daging dalam masyarakat Jawa, khususnya Suku Samin di Bojonegoro, yang oleh sebagian orang sering dicap syirik, bida’h dan tidak ada rujukan hadist yang sahih dengan menunjukan rasa tidak simpati dan dangkal akan apresiasi agama dan budaya. Megengan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa “megeng” yang berarti menahan, dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa (speech community) kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas yang mempunyai makna “terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya orang menghirup nafas”.

Kata megeng juga sepadan dalam penggunaan kata Ramadan secara lughat yang berarti “imsak”, kata “imsak” dalam tradisi pesantren salaf yang biasa dimaknai dalam kitab dengan leksikal berbahasa Jawa, kata imsak diartikan dengan “ngeker” atau menahan yang di dalamnya ada unsur pengikatan yang kuat dan kukuh. Dari kajian secara morfologis kata megeng hingga menjadi kata megengan yang ditambah sufiks (akhiran) –an diakhir kata mengandung arti proses yang terus menerus dan juga pembentukan kata benda.

Dari uraian tradisi megengan masyarakat Suku Samin Bojonegora menggambarkan bahwa ternyata selain sebagai mediasi untuk meningkatkan spiritualitas, megengan dijadikan sebagai wahana untuk mengeksiskan (member-ada-kan) diri, dengan jalan urip-urip tradisi. Karena pada prinsipnya masyarakat Samin selalu mencoba mencari harmoni antara alam makrokosmos dan mikrokosmos. Cara yang ditempuh adalah melalui laku atau ritual, untuk menemukan rasa sejati dalam pengembaraan sukma.

Hal ini setidaknya sejalan dengan ajaran tasawuf dalam Islam. Atas dasar itulah Cliford Geertz lewat ide besarnya menyebutkan istilah midle for  dan midle of. Midle for artinya konsep budaya yang telah ada diterapkan ke dalam realitas fenomena sosial budaya. Sedangkan midle of artinya realitas fenonema sosial budaya untuk ditafsirkan dan dipahami. Relaitas inilah yang kemudian diejawantahkan Suku Samin Bojonegoro dalam bentuk megengan. Kondisi ini sesuai dengan konsep memayu hayuning bawana, yakni watak dan perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera, dan bahagia.

Ini sesuai dengan kepercayaan Suku Samin mengenai keselamatan. Sehingga tradisi megengan dalam kontek ini lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah, maka tidak heran dalam jarwa dhosok bahasa Jawa poso berarti “ngempet roso” ada juga yang mengartikan “ngeposke roso” yang mempunyai makna memberhentikan rasa. Dengan pemaknaan puasa Ramadan yang lebih dimaknai “olah rasa” yang bersifat batiniah. Melalui tradisi megengan ulama terdahulu mengajarkan kita untuk memaknai puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi megengan.

Selain cara pelaksanaanya yang digilir dimasing-masing rumah, tradisi megengan Suku Samin Bojonegoro telah menyimpan banyak hal. Salah satunya menjaga sebuah hubungan interaksi sosial dan rasa solidaritas diantara masyarakat Samin itu sendiri. Hal inilah menjadi grand narasi yang sekaligus membedakan tradisi megengan antara masyarakat Jawa secara luas dengan masyarakat Samin di Bojonegoro.

Oleh : M. Romandhon MK, Esais dan Peneliti Budaya tinggal di Bojonegoro, Jawa Timur.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk