.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Jogja Istimewa "Madhep-Mantep"

imago.or.id - Ibarat fase kehidupan, Yogyakarta seperti sedang mengalami metamorphosis sejarah. Tak berlebihan setelah sekian lama, lebih tepatnya 9 tahun, pemerintahan Jogja dibuat menggantung. Perjalanan keistimewaan Jogja selama ini bukan berarti tanpa ada ganjalan. Berbagai hambatan tumpang tindih menjelma menjadi persoalan krusial yang sensitive. Hasil Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY yang disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR kamis (30/8) lalu (Kedaulatan Rakyat, 31/8), merupakan titik balik keistimewaan Jogja untuk masa-masa mendatang.

Hemat penulis, saat inilah timing tepat bagi keistimewaan Yogyakarta untuk mengukuhkan identitas ‘istimewa’ yang sebenarnya. Artinya, dari hasil rapat paripurna (30/8) yang dihadiri 300 anggota lebih itu, menjadi jejak baru untuk menuju keistimewaan yang kokoh. Prinsip madhep-mantep (bertekat bulat) menjadi satu I’tikat kuat dalam membenahi Jogja ke depannya. Tanpa ada ganjalan yang silang sengkurat, fokus dan bergerak secara total.

Pasalnya, jika persoalan terkait hiruk-pikuk dalam penetapan RUUK belum jua final, sudah barang tentu totalitas akan senantiasa mengawang-awang. Bagaikan labirin di atas tumpukan kisah ilutif. Namun dengan adanya keputusan final terkait undang-undang keistimewwaan, maka mau tidak mau Sultan Hamengkubuwono beserta segenap rakyat Jogjakarta harus berani cangcut taliwondo. Sengkuyung bareng membangun Jogja menuju kesejahteraan sosial serta membentuk grand desig Jogja sebagai barometer basis keearifan lokal (local wisdom). Disadari atau tidak, Jogja menyimpan sejuta keistimewaan sebagai kota yang masih eksis terkait keberadaan kraton.

Dengan visi tekat bulat inilah, bersama-sama harus dengan lantang berani menyingsingkan lengan baju masing-masing. Jangan lagi fokus terpecah dengan adanya percekcokan seperti selisih faham RUUK DIY selama ini. Dengan demikian, pekerjaan rumah bagi keistimewaan Jogja ke depan adalah merawat dan mengangkat kepercayaan predikat ‘istimewa’ yang telah diberikan oleh pemerintah RI. Perkara ini bukanlah pekerjaan yang mudah, meski dalam kenyataanya hari ini, ikon sebagai kota budaya masih melekat kuat pada diri Yogyakarta. Konsekuensi logisnya, pembenahan demi pembenahan harus mampu digalakkan.

Rencana pembugaran Tugu Golong Gilig (Pal Putih) misalnya, bisa menjadi salah satu contoh, bagaimana pemerintah kota dalam merawat ikon kebanggaan masyarakat Jogja itu. Agar pesona dan daya magis keistimewaan tidak pudar ditelan gemerlap pembangunan modern. Berjubelnya cagar budaya merupakan aset berharga bagi Jogja dalam mengemban julukan kota istimewa. Tidak hanya istimewa lantaran warisan budaya yang tetap langgeng, tetapi juga karena konsep pemerintahan yang dijalankan langsung oleh Sultan Hemengkubuwono dan Paku Alam. Meski sesungguhnya kesejahteraan dan pemerataanlah yang menjadi cita-cita masyarakat Jogja secara komunal.

Kiblat Kebudayaan

Usai madhep-mantep atas jati diri sebagai kota istimewa, maka fokus utama DIY adalah memaksimalkan aset-aset keistimewaan itu sendiri. Kearifan lokal yang masih membumi di tanah mataram sebisa mungkin harus selalu diperjuangkan. Ejawantah memperjuangkan tidak lain dan tidak bukan adalah uri-uri warisan kebudayaan leluhur. Kurang lebih, hal ini sesuai dengan pesan yang disampaikan Abdoel Moeis (1928), lewat tokoh si Hanafi dalam sebuah novelnya yang berjudul Salah Asuhan. Membentangnya bangunan-bangunan heritage merupakan wujud bahwa potensi kearifan adhiluhung di Kota Gudeg ini memang luar biasa besar. Akan menjadi sia-sia jika kemudian pemerintah dan masyarakatnya acuh tak acuh terhadap mahakarya leluhurnya. Berangkat dari itulah, agenda mendesak yang tak kalah pentingnya adalah memaksimalkan warisan kebudayaan yang ada tersebut. Karena bagaimana pun, Jogja sudah terlanjur identik dengan tipologi local wisdom-nya.

Sebagai kota yang berpenduduk heterogen sudah menjadi kenyataan jika persinggungan kebudayaan menjadi hal wajar. Karena itulah dengan menumpuknya dan tetap lestarinya identitas kebudayaan lokal, akan menjadi pemantik bagi kota-kota lain untuk mencoba melakukan hal sama, bahwa betapa pentingnya merawat warisan adhiluhung. Dengan demikian, jogja secara tidak langsung akan menjadi kiblat sekaligus barometer dalam uri-uri tradisi.

Walaupun harus disadari pula bahwa, pekerjaan rumah pemerintah DIY dalam menyongsong undang-undang keistimewaan tidak hanya sebatas pemanfaat atas kearifan lokal saja, melainkan pula pembenahan di berbagai sektor ekonomi, pendidikan dan social.

Oleh : M. Romandhon MK* Peneliti Central for Civilization and Cultural Studies, Fak. Adab dan Ilmu Budaya, UIN Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk