.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Plagiarisme Dan Intregitas Akademis Indonesia

imago.or.id - Satu tamparan keras telah melukai dunia akademisi Indonesia. Kasus plagiat yang dilakukan oleh Anak Agung Banyu Perwita guru besar Universitas Parahyangan Bandung, menyisakan guncangan psikologis yang hebat dalam khazanah pendidikan dan keilmuan bangsa ini. Dengan amat jelas sekali menunjukkan, jika Banyu Perwita terbukti melakukan plagiat atas karya tulis orang lain. Sungguh pun demikian, perbuatan itu selain mencoreng nama baik almamater kampusnya, juga merusak citra pendidikan Indonesia di mata negara-negara dunia.

Kasus plagiat Banyu Perwita mencuat ke publik manakala setelah harian The Jakarta Post menginformasikan jika artikel berjudul RI as New Middle Power bukanlah karya asli dari sang Profesor Banyu Perwita. Artikel yang dimuat di koran tersebut pada 12 November 2009 itu memiliki banyak kemiripan dengan karya Carl Ungerer, penulis asal Australia. Tulisan carl yang berjudul The Middle Power, Concept in Australia Foreign Policy, sudah terlebih dahulu dimuat di Australian Journal of Politics and History Volume 53 pada 2007.

Ada yang sangat ganjil sebenarnya dalam kasus plagiat ini, mengingat sang plagiator ini merupakan seorang guru besar. Dimana jika melihat titel yang menempel didirinya adalah sebagai profesor. Dan kita ketahui, biasanya jika sorang profesor apa lagi guru besar secara kapasitas dan kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi. Namun, semuanya itu seolah runtuh, ketika kasus tindakan plagiat itu justru terjadi pada orang yang berakademsi tinggi. Kaget sekaligus terpukul, itulah yang mungkin dirasakan oleh seluruh publik negara ini.

Memang, kalau mendiskursuskan tentang kasus plagiat, sebenarnya tidak hanya terjadi satu kali ini saja. Melainkan juga banyak hal serupa yang terjadi. Apalagi dalam jagad kepenulisan artikel di media masa. Seperti kasus plagiat artikel yang dimuat di Harian Koran Jawa Post, misalnya. Sang penulis artikel itu dilansir telah menjiplak artikel dari seorang profesor di Jakarta, yang termuat dalam rubrik opini di Okezone. Kasus di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak fenomena plagiator yang ada.

Bedanya disini terletak pada siapa dan dari kalangan mana kasus penjiplakan (plagiat) tersebut terjadi? Jika mengacu pada mahasiswa, mungkin masih ada sedikit pemafhuman, meskipun toh dipandang dari aspek manapun, tetap tindakan plagiat adalah dosa besar dan tercela. Ini artinya, bagaimana pun tindakan plagiat merupakan hal yang terburuk dalam sejarah kehidupan manusia. Kaitannya dengan ini, yang menjadi permasalahan adalah mengapa tindakan plagiarisme itu justru dilakukan oleh seorang guru besar sekaligus profesor?

Intregitas Akademis

Mungkin ada benarnya juga dengan adagium yang sudah populer di negeri ini tentang guru kencing berdiri, murid kencing berlari, bahwa segala sesuatunya menjadi satu kerangka yang saling berhubungan. Kembali pada permasalahan tindakan Banyu Perwita, jika bangsa ini tidak pandai dalam menyikapi kasus plagiarisme niscaya budaya jiplak-menjiplak susah dihilangkan. Logikanya, jika induknya saja mengajarkan tentang hal yang buruk, pastinya hal yang didapatkan pun buruk pula. Dan perlu menjadi perhatian fenomena plagiarisme sangat menentukan intregitas akademis dihadapan bangsa lain.

Berangkat dari pengalaman sejarah buruk itulah, sekiranya perlu semacam analisis diri terkait keoutentikan sebuah karya. Tak usahlah berlarut-larut dalam kesuraman masa lampau. Sangat tidak bijak sekali, jika Banyu Perwita dengan tindakan plagiarisme terus menjadi bulan-bulanan. Dan tak sepantasnya juga hujatan demi hujatan selalu dilontarkan. Yang terpenting sekarang ini, bagiamana kita harus mampu belajar dengan sangat arif terhadap sebuah pengalaman. Meski lagi-lagi, perlu dicamkan jika plagiat adalah terkutuk.

Jadi menjadi jelas, bahwa belajar dari fenomena plagiat, ternyata harus diakui jika tingkat intregitas akademis (kesempurnaan lembaga pendidikan) di negeri ini masih jauh dari sesungguhnya. Meski pahit, inilah realitasnya. Mau tak mau kita harus mengakui dan menyadarinya. Kasus plagiarisme oleh Profesor Banyu Perwita, paling tidak bisa menjadi titik awal (starting point) untuk mengoreksi diri demi masa depan intregitas dunia akademisi dan intelektaul bangsa ini. Bagaimanapun berkarya juga sangat penting. Saking pentingnya, sastrawan besar Indonesia Pramoedia Anantatoer pernah mengatakan bahwa manusia tanpa karya akan dilupakan oleh zaman dan sejarahnya.

Akantetapi yang perlu menjadi titik tekan, berkarya sesuai dengan diri sendiri, murni berangkat dari ide dan gagasan personal, bukan karya yang dihasilkan dari pencomotan (penjiplakan). Sebuah bangsa, bisa eksis dan dikenal diseluruh penjuru dunia tak bisa bisa lepas dari sebuah karya. Karena karya sebagai bentuk untuk menunjukkan identitas suatu bangsa itu sendiri. Naif sekali, jika kasus plagiarisme terus berlanjut, sedangkan disisi lain kita mengatakan tingkat intregitas akademis sudah mengalami kemajuan.

Kasus Banyu merupakan pelajaran penting bukan hanya bagi kalangan akademisi, tetapi publik secara keseluruhan. Selain hanya menjadi gurita dalam diri sendiri, imbas dari plagiarisme, tidak hanya berdampak terhadap personal melainkan juga banyak pihak. Bahkan jika dalam tataran tingkat internasional, harga diri bangsa menjadi taruhannya. Jangan biarkan budaya plagiarisme menjadi budaya yang berkembang di negeri ini. Jadi dipertegas sekali lagi, bahwa virus yang sangat akut itu bernama plagiat.

Oleh: M. Romandhon MK, Direktur Pelaksana pada Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

intregitas atau integritas?

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk