.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Ketika Demokrasi Tak Bersuara

imago.or.id - Fase puncak demokrasi di negeri ini telah terlalui. Meskipun secara keseluruhan hajatan demokrasi belum sepenuhnya tuntas. Namun setidaknya, ini telah menandakan bahwa satu sejarah penting terkait keberlangsungan bangsa sudah terekam. Momen 9 april lalu menjadi sebuah jejak sekaligus langkah awal yang akan menentukan maju-mundurnya bagi seluruh masyarakat Indonesia terhadap masa depan bumi pertiwi.

Berangkat dari sebuah ketidakpastian yang penuh kelabilan, kita dihadapkan pada lembaran kertas yang berisikan puluhan gambar calon pemimpin yang hanya memperebutkan satu tahta. Dari puluhan gambar itu kita dituntut untuk menerka-nerka, mencari sosok yang akan bisa membawa perubahan bagi tanah air tercinta. Bersamaan dengan itu berbagai keganjilan dan ketidakjelasaan, seperti konflik di Papua yang menelan korban jiwa, mengingatkan kita, betapa renta demokrasi Indonesia. Sekiranya itulah, potret demokrsi yang sedang dijalani bangsa ini.

Mungkin itu terlalu berlebihan, akan tetapi jika melihat realitas demokrasi yang ada, tentunya semuanya akan menjadi reflektif. Karena menurut Van Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan memberikan satu wacana tentang ciri perubahan pemikiran manusia secara berjenjang, yaitu tahap mistis, ontology, dan fungsional. Dalam hal ini, jika dikontekskan dengan pola pemikiran masyarakat serta demokrasi di Indonesia, pastinya tesis dari Van Peursen akan semakin menguatkan situasi di negeri ini. Pertama, tahap mistis, dalam tahap ini Indonesia pada masa pra-kemerdekaan telah melaluinya. Yakni, dengan ditandainya, pola pikir masyarakatnya yang cenderung tidak mau memberontak dan lebih mengedepankan pada sebuah “keajaiban masa”.

Kedua, tahap ontology, pada ranah ini moyoritas pola pemikiranya cenderung memprioritaskan relegiusitas (keagamaan, ketuhanan dll). Kondisi ini terlihat sejak Orde Lama hingga tumbangnya Orde Baru, yang kemudian memasuki masa Reformasi. Tahap ini terlihat dengan munculnya gagasan demokrasi oleh Soekarno, yang kemudian melahirkan Nasakom dan Demokrasi Terpimpin yang mencoba membangun kerangka demokrasi yang di dalamnya terdapat sumbangan agama. Tetapi ide itu tidak berhasil karena Soekarno terlalu cenderung membela komunisme, suatu paham yang anti agama. Gagasan demokrasi ala Soekarno ini merupakan kelanjutan dari idenya tentang “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dipublikasikan Harian Indonesia Muda tiga hari setelah Soekarno mendapatkan gelar insinyur pada pertengahan tahun 1926.

Ketiga, tahap fungsional. Pada jenjang ini menurut Peursen merupakan sebuah frase puncak. Dimana proses kedewasaan berdemokrasi dalam masyarakat maupun pemimpinnya menemukan titik sinergisitas. Namun, untuk menuju tahap fungsional, biasanya akan terjadi kerancauan yang membingungkan dalam tubuh internal. Akan tetapi, entah bagaimana jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia dewasa ini. Masalahnya, sudahkah masyarakat dan demokrasi di Indonesia mampu berfikir dengan kesadaran penuh kedewasaan (Thinker Freedoom)?

Ancaman Berdemokrasi


Terlepas dari sejarah histories di atas, sekarang ini yang sangat urgen dan perlu untuk dicermati adalah bagaimana hasil serta nasib keberadaan demokrasi dalam pelaksanaan pemilu 9 april kemarin. Persoalannya, bukan pada siapa yang akan memimpin siapa, akantetapi, sejauh manakah respek masyarakat terhadap inti kesejatian demokrasi? Jika ternyata, pesta demokrasi tak mampu “bersuara”, tentunya ini akan menjadi sebuah ancaman yang sangat serius.

Terkait dengan hal itu, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam pemilu kali ini. Entah itu dengan hasil yang memuaskan atau pun malah sebaliknya. Semuanya penuh ketidakpastian. Selain itu, perhitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survey akan berimplikasi rawan konflik. Fakta ini terlihat pada peristiwa Pemilihan Gubernur (Pilgup) Jawa Timur 2008 lalu.

Sungguh sangat disayangkan. Pemilu yang sebenarnya merupakan proses afiliasi antara nurani rakyat dengan sang calon pemimpin, berubah menjadi ajang permainan dadu, dimana aspirasi dalam demokrasi menjadi semacam pertaruhan antara “mati dan hidup”.

Mencekam, itulah kondisi demokrasi akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, dengan melihat begitu menyeruaknya isu banyaknya suara yang tidak sah serta tingginya angka golput, mengindikasikan bahwa, apakah benar demokrasi yang sedang dijalani adalah demokrasi yang mengusung kebebasan bersuara? Tentunya itu bukan tanpa sebab. Karena di TPS tempat memilihnya Jusuf Kalla di kawasan Menteng, hampir 50 persen suara dinyatakan tidak memilih. (kompas 10/4). Selain itu, konflik di Papua juga semakin menambah daftar deretan demokrasi yang tidak ikut “bersuara”. Jika dikalkulasikan secara keseluruhan, berapa banyak jumlah suara yang “golput”? tentunya ini merupakan momok yang sangat menakutkan bagi keberlangsungan sebuah Negara.

Haruskah, peristiwa Pilgup Jatim terulang lagi dalam Pemilu kali ini? Jika memang benar, sudah siapkah Indonesia menghadapi segala resiko yang besar pasca pesta demokrasi? Sungguh sangat menghawatirkan. Setidaknya, benar apa yang pernah dinyatakan oleh Austin Ranney bahwa, demokrasi akan tumbuh manakala ada penghormatan terhadap kehendak maoyoritas. Namun ironisnya, justru yang mendominasi secara mayoritas di Indonesia adalah suara golput.

Padahal, bukankah pemilu kali ini sudah memakan begitu banyak biaya, tenaga, dan waktu? Dimana, setiap hari selalu disodori dan dipusingkan dengan berbagai janji-janji serta kesemrawutan papan baliho, panji-panji, dan sebagainya. Sehingga, tidak berlebihan jika kita perlu merefleksikan ulang bersama apa, mengapa dan bagaimana tujuan diadakanya pemilu dan demokrasi? Pastinya, ini bukan hanya sekedar retorika dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan. Akan tetapi, jauh dari kedalaman itu tentunya tersimpan suatu visi-misi serta hikmah yang sangat luar biasa besar bagi kesejahteraan bernegara. Namun apa yang bisa diperbuat ketika ternyata demokrasi menyatakan “tidak bersuara”?

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk