.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Pameo Perjalanan Akhir Tahun (Sebuah catatan refleksi akhir tahun)

imago.or.id - Betapa muramnya cahaya matahari 2012 menyambut detik-detik berakhirnya akhir tahun 2011. Cahaya kegelisahan begitu nyata di bumi nusantara di penghujung akhir tahun ini. Berbagai ketimpangan menyeruak dan mengoyak ketenangan ibu pertiwi. Dalam rentang waktu setahun terakhir bangsa ini seolah tak pernah luput dari kegaduhan dan kekisruhan, yang tidak jarang membuat rakyat Indonesia kian menderita dan sengsara. Baru-baru ini kita dipaksa untuk menyaksikan kenyataan yang menimpa para saudara-saudara kita yang tewas dalam tragedi di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ironisnya, peristiwa naas itu justru terjadi akibat bentrokan terhadap Polisi. Polisi yang semestinya menjadi poros tengah dalam proses penstabilan, sebaliknya menjadi salah satu dalang terjadinya pembunuhan nyawa secara massal. Kasus biadab yang merenggut nyawa warga Bima, NTB sesungguhnya kenyataan pahit yang sulit rasanya untuk diterima akal. Sebagai pribumi yang semestinya harus merasakan limpahan kekayaan alam, justru dipaksa bungkam dengan teror-teror kematian. Jargon gemah ripah loh jinawi yang selama ini menjadi platform bangsa Indonesia, tak ubahnya hanya sebatas dongeng adiluhung bagi jiwa-jiwa yang merana.

Selain pelanggaran HAM di Bima, NTB, kasus serupa juga terjadi di Mesuji, Lampung Utara yang menewaskan puluhan nyawa warga. Peristiwa kelam itu terjadi tepat pada bulan yang sama, yakni Desember. Entah ada apa dengan penghujung akhir tahun ini? Pembantaian massal yang semestinya berakhir dengan runtuhnya Orde Baru beberapa tahun silam, kini secara bertubi-tubi kembali menyeruak ke permukaan. Benarkah ini yang dinamakan dengan mulai rabunnya masa depan bangsa Indonesia? Kasus Mesuji adalah potret bagaimana perlindungan pemerintah dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang damai dan sejahtera tak ubahnya sebuah ilusi mimpi. Parahnya lagi, dalam tragedi memilukan di bumi Lampung itu, pemerintah disebut-sebut ikut terlibat.

Dapat disaksikan sendiri bagaimana kekejaman dan kebiadaban dalam rekaman video pembantaian petani Mesuji, yang melayangkan puluhan nyawa, warga dilumpuhkan, rumah-rumah dibumi hanguskan dan para janda diperkosa. Disinyalir video tersebut merupakan rekaman nyata atas pembantaian warga Mesuji. Bahkan sampai detik ini pun kasus pembunuhan itu masih belum jelas arah penangannya. Boleh dikatakan keberadaan pelanggaran HAM di Mesuji kian raib dari pendengaran seiring eforia pesta penyambutan akhir tahun. Seolah pemerintah tidak menghiraukan berbagai ketimpangan yang mendera tanah air selama ini. Pemerintah lebih mementingkan untuk bersolek dan merias diri menyambut tahun baru 2012 yang sudah di depan mata.

Tidak hanya kasus Bima dan Mesuji saja yang telah merobek ketenangan bumi pertiwi, sebut saja beberapa bulan terakhir sebelum menuju akhir tahun. Bangsa Indonesia lagi-lagi dihebohkan dengan bergejolaknya bumi Papua. Seakan tidak henti-hentinya Papua terus dirundung kegalauan. Bentrokan demi bentrokan yang terjadi antara warga dengan aparat keamanan yang tidak jauh dari tempat tambang emas PT Freeport berdiri telah menelan banyak korban warga Timikia. Inilah sesunggunya  realitas semu yang dibangun bangsa ini. Dari ketiga insiden berdarah di atas sudah menjadi bukti nyata bahwa mental kebudayaan yang diterapakan di Indonesia adalah penindasan. Dan motifnya pun masih seputar kekayaan alam.

Dunia pun tahu, kalau Indonesia ini adalah negara yang berlimpah dengan kekayaan alam yang meruah, namun saat itu pula rakyat yang menjadi pewaris syah, tak merasakan sepeserpun dari kekayaannya. Bumi Papua yang disebut-sebut sebagai penghasil emas terbesar di dunia, nyatanya masyarakatnya pun tidak ada yang tertempel pernak pernik emas di tubuhnya. Artinya, warga Papua tetap dalam kondisi terbelakang, miskin, dan termarjinalkan. Benarkah ini yang disebut sebagai resiko orang yang memiliki kekayaan alam berlimpah, hingga dirinya sendiripun tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya meneguk limpahan kekayaan alam.

Kedewasaan Berbudaya

Kasus Papua (PT Freeport), Pembantian Mesuji, dan insiden berdarah di Bima, NTB, adalah sekelumit dari berbagai tragedi kelam yang mengeringi perjalanan bangsa ini dalam menutup lembaran-lembaran tahun 2011. Tidak bisa sangkal, tahun 2011, memang terlalu banyak yang layak kita catat. Berbagai pelanggaran HAM hingga bencana alam pun ikut mewarnai. Runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara, adalah secuil kenyataan dari banyak fakta yang terjadi di negeri ini. Inilah mengapa penulis menyebutkan bahwa bangsa ini sesungguhnya sedang menuju tahun yang kian rabun. Sebuah fase dimana ketimpangan dan pelanggaran tetap langgeng. Jika bangsa ini tidak mampu menjawab anomali-anomali diatas, tanda-tanda keruntuhan kebudayaan sesungguhnya akan terjadi. Sebaliknya pabila bangsa Indonesia secara bijak dan adil dapat menuntaskan persoalan-persoalan kontradiktif yang ada, maka sinar cerah matahari 2012 menyambut.

Sebagai manusia, makhuk yang memiliki kesadaran masa lalu, masa kini dan masa mendatang, selayaknya tidak terpaku pada pengalaman masa lalu. Namun, bukan berarti mebiarkan yang pahit dan serba gelap berlalu tenggelam bersama berlalunya sang waktu. Sedangkan yang indah dan baik, kita jadikan pegangan menuju perjalanan masa depan yang masih panjang dengan membangun gugusan optimisme, bahwa masa depan harus lebih baik dari hari ini.

Untuk melangkah menuju yang lebih baik secara kolektif, tidak ada ajakan yang lebih bijaksana  kecuali ajakan agar bangsa Indonesia dalam mengarungi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa lebih dewasa di masa mendatang. Ini artinya kedewasaan berbudaya merupakan instrumen paling penting. Sebab, pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa mental kebudayaan kita masih kekanak-kanakan. Pelajar mudah tawur, para pejabat ingin cepat kaya korupsi, marah sedikit main clurit, mau diadili pura-pura masuk rumah sakit, tidak puas pada pimpinannya bikin organisasi tandingan, penuntutan hak dibalas ancaman dan pembantaian, dan sebagainya adalah cermin sifat kekanak-kanakan. Bagaimanapun tahun baru adalah harapan, tahun baru adalah janji, tahun baru adalah saatnya membangun mimpi dan opsesi.

Oleh : M. Romandhon MK, adalah pemerhati Kebudayaan, tinggal di Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk