.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Sebuah Awal Dari Catatan Akhir

imago.or.id - Menelusuri Jati Diri

Kita mesti keluar ke jalan raya. Keluar ke desa-desa. Menghayati sendiri semua gelaja dan menghayati persoalan yang nyata. Apalah artinya berfikir bila terpisah dari masalah kehidupan? Kepadamu aku bertanya!

Pemuda atau khususnya mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang harus mengisi kemerdekaan bangsa sesuai konteks zamannya. Perjalanan panjang bangsa ini mencatat hebohnya sepak terjang kaum muda dan mahasiswa dalam melahirkan pelbagai revolusi. Pergerakan awal kemerdekaan, penggulingan Sukarno sebagi rezim yang otoriter, serta berhembusnya angin kebebasan reformasi dimotori oleh mereka. Itu kira-kira gelombang besar revolusi yang dilahirkan beberapa generasi bangsa.

Itu semua tak lepas dari kedudukan mahasiswa itu sendiri, sebagai kelas menengah yang harus menjadi jembatan antara kelas borjuis dan proletar. Kelas itu selanjutnya dikonsepsikan menjadi tiga fungsi penting mahasiswa, yakni agent of change, agent of control, dan agent of iron stock. Paska reformasi atau lebih tepat memaknai zaman ini sebagai globalisasi, ke mana kita harus bergerak?

Setelah orde reformase bergulir, otonomi daerah diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002. Kebijakan otoda diterapkan sebagai evaluasi atas sentralisasi pemerintahan Orde Baru yang dinilai hanya memberikan kesejahteraan bagi pusat. Di era itu, di mana sentralisasi menjadi skema penyelenggaraan pemerintahan, daerah cenderung dijadikan lahan eksploitasi pusat (Jakarta). Tak hanya eksploitasi sumber daya alam, seluruh sumber daya daerah ikut termarjinalisasi.

Ketika ada proyek pembangunan di daerah, sumber daya manusia lokal kerap hanya menjadi penonton. Karena, tak hanya mesin yang didatangkan dari pusat, SDM pelaksanaan kebijakan dan segala bentuk proyek pembangunan juga dipasok dari sana. Kalaupun ada SDM dari lokal, mereka sering hanya dijadikan tenaga teknis.

Desentralisasi ingin mendobrak itu semua. Oleh kebijakan desentralisasi, daerah diberikan “kebebasan” lebih untuk mengelola SDA dan segala potensi daerah, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensi logisnya, peran strategis putra daerah dalam pembangunan pun di utamakan. Selanjutnya, tuntutan peran bagi putra daerah juga terus berkembang. Ini bukan berarti terjadi etnonasionalisme, suatu watak kedaerahan yang sempit. Namun, ketidak adilan antara pusat daerah serta persaingan antar daerah menjadi isu utama berkembangnya tuntutan bagi putra daerah untuk peduli kepada bumi asalnya. Permasalahan yang kemudian harus diantisipasi adalah penonjolan watak kedaerahaan yang kadang dijadikan kedok kepentingan sempit, elitis, politis, dan sesaat.

Lantas, siapa sih “putra daerah” itu? Tentu siapa pun sah untuk mendifinisikannya dengan perspektif masing-masing. Menurut dosen Hubungan Internasional UGM Drs. Sidik Jatmika M. Si, putra daerah adalah semua penduduk suatu wilayah yang tidak dianggap sebagai Orang Asing. Apakah keberadaan kawan-kawan di Jogja ini dinilai sebagai orang asing oleh para pribumi? Kalau iya, berarti anda bukan putra daerah Yogyakarta.

Lantas, saya sama sekali tidak bermaksud untuk memohon, memaksa, bahkan mengintimidasi semua yang mengaku putra daerah untuk peduli terhadap daerah. Ya, setiap manusia mempunyai kebebasan, tak terkecuali kebebasan untuk peduli atau tidak pada daerah asal. Bahkan, menurut Wiratmo Soekito, seorang manusia bebas untuk untuk menghianati dirinya sendiri.

Tentu, NASIONALISME tetap harus menjadi pegangan utama pemuda dalam mengisi kemerdekaan, apalagi di arus globalisasi yang kian deras. Sejarah bangsa ini pun merekam bagaimana ampuhnya nasionalisme yang dijadikan senjata oleh para pemuda pendahulu kita (yang juga kaum terpelajar/cendikiawan/intelegensia) dalam merebut kedaulatan bangsa dari tangan penjajah. Saya pun yakin, Sumpah Pemuda yang diikrarkan sebagai tonggak pengisian kemerdekaan itu diikrarkan dengan pondasi nasionalisme.

Di tengah arus globalisasi ini, SADAR (tak hanya mengerti) akan nasionalisme saja kadang sudah dinilai sebagai point plus pemuda. Apalagi kalau kita mampu mengejawantahkannya, bukankah itu hal yang istimewa. Selanjutnya, tinggal bagaimana kita mengejawantahkan nasionalisme itu dalam konteks kekinian.

Kalau boleh saya menyimpulkan, kini kita dihadapkan pada beberapa tuntutan oleh zaman ini. Masalah yang kemudian timbul adalah, beberapa tuntutan itu seolah terasa saling tarik ulur. Di satu sisi, kita dituntut untuk peka zaman oleh Gelombang Ketiga perkembangan dunia, jika tidak mau ketinggalan kereta zaman. Permasalahannya, sikap peka zaman itu selanjutnya kadang cenderung—entah disadari atau tidak— mengantarkan dan bahkan memaksa kita untuk tidak terlalu menggumuli nasionalisme. Dan, keasyikan bersetubuh dengan nasionalisme kerap dinilai sebagai sikap kemandekan.

Di sisi lain, kita dituntut untuk senantiasa mengutamakan nasionalisme, agar kita senantiasa tidak ahistoris dalam mendefinisikan diri. Bahwa kita adalah orang Indonesia dengan kultur agraris dan segala kebhinekaannya. Tahu dan sadar bahwa Indonesia adalah bangsa agraris dengan ribuan pulaunya, pernah dijajah beberapa negara, merdeka atas peran besar pemuda, terdiri dari komposisi masyarakat multietnis dan religi, serta masih menderita penyakit akut korupsi. Semua itu juga menuntut kita untuk berfikir dan bertindak secara nasional.

Namun, selain dua sisi itu, kadang kita juga dituntut untuk memilihara indigeneous local (kearifan lokal) sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Mengapa? Pertama, agar kita senantiasa mafhum akan jati diri kita (jowo seng ngerti jawane). Kedua, agar kearifan lokal tetap terjaga. Ketiga, agar potensi-potensi lokal dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Sisi terakhir ini, kalau tidak disikapi dengan dewasa, kadang memang dapat memicu etnonasionalisme. Sikap itu mengancam nasionalisme, karena berpotensi memicu konflik horizontal.

Ketiga sisi itu seolah memang terasa kontroversial. Namun, ketika disikapi dengan dewasa, ketiganya bahkan bisa saling mendukung. Think globally, act locally, saya rasa menjadi sebuah sikap paling kompromis yang dapat mendamaikan ketiganya itu. Berfikir secara global dan bersikap secara lokal selanjutnya akan dapat t keberhasilan penerapan kebijakan desentralisasi. Bahkan, tanpa berfikir secara global yang dibarengi dengan sadar akan kearifan lokal, desentralisasi tidak akan dapat memberikan solusi atas ketidakadilan pusatdaerah. Karena, tak dapat dipungkiri, kini sudah tidak ada lagi sekat ruang dan waktu di dunia ini. Hanya mereka yang mampu membuka cakrawala dan pandai membaca peluang dengan cepat, yang akan menang (the survival of the fastest).

Tentu tidak semua orang mampu berfikir secara global, cepat pula, lantaran kemampuan itu difasilitasi oleh sebuah teknologi. Internet. Sebagaimana tercacat dalam Internet World Stats (2008), baru sekitar 25juta penduduk Indonesia yang mengakses internet. Kita, sebagai mahasiswa yang berada di kota, sangat dekat dengan akses teknologi informasi itu. Tak hanya dekat, dalam konteks akademik, kadang kita dituntut untuk mengakses internet untuk menunjang proses pembelajaran. Sebagai entitas pendidikan tinggi, kita juga memiliki aksesabilitas yang tinggi pada ide atau teori, buku, pemikir, lembaga-lembaga kajian dan praktik segala bidang keilmuan. Artinya, instrumen think globally menjadi kekasih kita di sini.

Lalu, setelah mampu berfikir secara global, bagaimana kita seharusnya bersikap sebagai seorang mahasiswa? Haruskah kita mengutamakan kearifan lokal daerah kita yang juga secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai ejawantah nasionalisme zaman sekarang? Haruskah kita terjun langsung dalam ranah politik seperti halnya para pendahulu kita? Atau cukup asyik dengan dengan keilmuan kita tanpa tujuan praktis? Satu lagi, apa cukup jadi mahasiswa yang mengalir saja dengan segala bentuk budaya kaum urban yang katanya cenderung hedonis?

Menurut Arif Budiman(1984), mahasiswa dapat digolongkan ke dalam kelompok cendikiawan. Tetapi berlainan dengan cendikiawan yang dapat dikatakan menempati kedudukan sosial tertentu. Argumen itu dilanjutkan oleh G. S. Jones. Menurutnya: Sifat khas mahasiswa yang penting dalam hubungan sosial adalah bahwa situasi mereka selalu bercorak sementara. Setiap penggolongan mahasiswa selaku kelompok masyarakat mau tidak mau harus mengikutsertakan asal-usul mereka, situasi mereka sendiri serta arah sosial si mahasiswa.

Lebih umum lagi, menurut Julien Benda, cendikiawan itu seharusnya adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Cendikiawan tidak mengejar tujuan kebendaan. Kerajaan mereka bukan lah di dunia ini. Benda menyebut pengkhianatan cendikiawan (intelektual) untuk para cendikiawan yang terjun langsung ke ranah politik praktis pada awal abad ke duapuluh.

Pendapat Benda itu tentu kontras dengan sepak terjang mahasiswa Indonesia dalam perjalanan bangsa. Kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari kontribusi para cendikiawan yang terjun ke aras politik untuk merumuskan gerakan melawan penjajahan. Setelah merdeka, sepak rerjang mahasiswa kembali menggelora dengan menggulingkan Sukarno tahun 1966. Episode selanjutnya, rezim orde baru menjadi tumbal keampuhan gerakan mahasiswa Indonesia pada Mei 1998. Hingga sekarang, mahasiswa masih kerap melakukan demonstrasi menentang pelbagai kebijakan penguasa (negara).

Menurut saya, tanggung jawab mahasiswa paling essensial dalam konteks kekinian adalah tugas keilmiahannya. Keilmiahan tentu diperoleh dari proses kontemplasi atau berfikir. Pertanyaannya adalah, berfikir ilmiah yang seperti apa? Potongan sajak Rendra di atas adalah jawabannya. Berfikir ilmiah dengan mengutamakan kedekatan dengan realitas masyarakat. Senada dengan lirik Wiji Tukul dalam lagunya yang berjudul Apa Guna. Apa guna… punya ilmu tinggi…kalau hanya untuk mengibuli …apa guna… banyak baca buku… kau mulut kau bungkam melulu.
Setiap mahasiswa berhak dan (sekali lagi) bebas untuk memilih posisi yang mana pun. Pilih semuanya juga boleh. Yang jelas, saya hanya ingin bersumbang pendapat kepada kawan-kawan semua. Boleh diterima, ditanggapi, ditolak atau dicaci, saya akan menerimanya dengan senang hati…ini hanya harapan saya secara pribadi untuk masa depan, mungkin juga mewakili sebuah generasi, yang bebas didefinisikan ulang oleh para generasi pemilik zamannya.

Dari Langit itu, Turun Ke Bumi

Jumlah mahasiswa asal Bojonegoro yang kuliah di Yogyakarta tidak sedikit. Memang belum ada data valid yang menyebutkan jumlahnya. Setiap tahunnya, selalu saja ada mahasiswa “asli Bojonegoro” yang datang ke Jogja untuk kuliah. Gelar Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kawahcandradhimuka, mungkin itu salah satu daya tariknya bagi para mahasiswa (tidak hanya) Bojonegoro untuk berbondong-bondong bermigrasi ke sini.

Namun, selama ini ada beberapa puluh mahasiswa yang aktif menghidupi sebuah perkumpulan (organisasi) mahasiswa Bojonegoro di Yogyakarta, yaitu Ikatan Mahasiswa Bojonegoro-Yogyakarta (IMAGO). “Organisasi” ini sudah dideklarasikan secara terbatas sekitar delapan tahun silam. Hingga usianya yang hampir sewindu ini, IMAGO cukup aktif berkegiatan, baik di Yogyakarta maupun di bumi asalnya.

Beberapa kegiatan yang telah berhasil diselenggarakan oleh IMAGO adalah TRY OUT SPMB pada tahun 2007 lalu, TRY OUT UM-UGM 2008 (SMASA, 27 Januari), Jogja Peduli Banjir dengan melakukan penggalangan dana untuk membantu korban banjir (Januari, 2008), Penyambutan Rombongan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Bojonegoro di Pakualaman saat pentas wayang thengul (Pakualaman, 10 Agustus 2008), Refleksi Kemerdekaan RI Ke-63 dengan mengadakan pemutaran film-film dokumenter dan debat kontes tingkat SLTA (halaman Madani FM, 16 Agustus, 2008), dan terakhir TRY OUT UM-UGM 2009 dan Sarasehan Kultur Intelektual dan Reorientasi Pelajar (MAN 1, 1 Februari 2009). Semua kegiatan itu dilakukan di Bojonegoro. Tujuannya untuk sedikit berkontribusi kepada daerah asal, sebagai putra daerah dari kalangan akademisi.

Menurut beberapa peserta maupun kawan IMAGO sendiri, keberadaan agenda-agenda itu cukup membantu. Selain itu, ketika liburan, beberapa kawan yang turut aktif di IMAGO juga rutin melakukan sosialisasi tentang kultur intelektual di Yogyakarta. Ini biasa dilakukan di sekolah-sekolah SLTA. Tujuannya ingin memberikan gambaran tentang dunia seputar perkuliahan secara umum, khususnya di Yogyakarta dan UGM. Kegiatan seperti ini kami anggap penting karena tentu banyak calon mahasiswa Bojonegoro yang ingin belajar di Yogyakarta. Informasi di beberapa media dan dari sekolah sendiri tentu masih kurang.

Selain kegiatan-kegiatan eventual yang bersifat eksternal tersebut, IMAGO juga aktif mengadakan kumpul-kumpul, mulai dari nyangkruk di warung kopi, ngurmpi di sekretariat IMAGO baik di Bojonegoro maupun di Jogja, buka bersama, hingga halal bihalal internal dan bareng pakurojo. Buka puasa ramadhan lalu diadakan di rumah makan Maharani. Sementara halal bihalal memperingati idul fitri diadakan di rumah Ketua IMAGO, Ds. Pekuwon, Kec. Sumberrejo.

Kecuali kegiatan pertama, semua kegiatan tersebut dilaksanakan oleh IMAGO dibawah komando Achmad Choirudin, dengan dibantu oleh Sekretaris manis Danang Wahyuono dan Bendahara cantik Addin Falasifah, serta tidak lupa dukungan langsung maupun tak langsung kawan-kawan semua adalah hal yang paling berharga.

Terimakasih tak terhingga bagi para alumni: Martin Hanura, SIP., yang baru wisuda bulan lalu yang tak capek memberikan petunjuk, mantan ketua IMAGO 2007 Aziz yang senantiasa menemani langkah kita, ketua IMAGO perdana Mas Penky yang selalu bijaksana dalam memberikan petuahnya, mbak Desi yang kini telah berkeluarga, kak Ali As’ad yang sering membantu kita menyuplai film untuk diputar di Bojonegoro dan menemani ngopi tentunya, dan masih banyak lagi yang tidak dapat kami sebutka semuanya.

Terima kasih kepada bapak-bapak Pakurojo yang selalu membuka pintu untuk kami, mengundang kami dalam kegiatan-kegiatannya, serta memberikan petunjuk langkah IMAGO, khususnya bapak Pamuji selaku ketua Pakurojo. Terima kasih banyak. Juga kepada kawan-kawan di IKBJ yang selalu sudi bekerja bareng IMAGO (panitia syawalan Pakurojo dan Jogja Peduli Banjir Bojonegoro) dan sudi sharing bareng kami.

Kepada para KAGAMA di Bojonegoro yang telah memberikan kontribusi material dalam segala kegiatan IMAGO di Bojonegoro, serta kepada para pihak yang telah mendukung kelancaran kegiatan-kegiatan IMAGO. we say thanks a lot. 

Semua itu tak lain kita lakukan demi kemajuan kita bersama, terlebih bagi daerah asal kita. Semoga semua itu membawa manfaat bagi kita dalam menjalani dan menghidupi kehidupan ini, baik di dunia dan di akhirat. Akhirnya, Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat sertra hidayahnya dalam setiap jengkal langkah kita. Alhamdulillah wa syukurilah, wa laa khaula wa laa qu’ata illa biillahil ‘alyyil adzim.

Besar harapan kami kepada kongres ini untuk mengantarkan IMAGO kepada perubahan yang signifikan yang kemudian akan memberikan kemajuan bagi para anggotanya, organisasinya, dan daerah asalnya. Semoga. Amin.

Yogyakarta, 29 Maret 2009 Atas Nama

Ketua umum :  Achmad Choirudin (Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM 2007 asli Sumberrejo)
Sekretaris   : Danang Wahyuhono (mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik FISIPO UGM 2007 asli Ngasem)
Bendahara  : Addin Falasifah (mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIPOlL UGM 2007 asli Sumberrejo)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk