.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Ormada dan Modal Sosial dalam Pembangunan Daerah

imago.or.id - Entah telah banyak yang memperhatikan atau tidak, hampir bersifat reguler, tepatnya setiap akhir atau awal tahun, terlihat berkelompok pemuda memakai jas berseliweran di seputaran kota dan tidak jarang sampai ke pelosok daerah. Mereka berhenti sesampainya pada tempat yang dimaksud yaitu sekolah menengah atas atau sederajat. Siapakah mereka? Ya, tak lain ketika menunjuk pemuda-pemudi yang berstatus mahasiswa, yang tak lain pula jas dengan warna yang berbeda merupakan representasi dari masing-masing almamaternya. Memanfaatkan waktu senggang diantara padatnya perkuliahan, mereka rela pulang kampung untuk mengadakan kegiatan yang bertajuk briefing atau sosialisasi perguruan tinggi kepada siswa-siswi kelas xii SMA atau sederajat. Bagaikan juru kampanye, berbagai kelompok tersebut berlomba untuk menarik perhatian agar target group-nya minimal berminat atau bahkan mampu meneruskan jejak langkah mengenyam bangku perkuliahan di perguruan tinggi yang mereka telah berada di dalamnya. 

Kesukarelaan merupakan modal utama yang dimiliki. Pasalnya hampir keseluruhan dari kegiatan tersebut merupakan swadaya. Mulai dari konsep, akses menuju obyek, hingga hal yang masih menjadi momok bagi kalangan mahasiswa, yaitu kaitan finansial sebagai premium untuk menjalankan kegiatan. Tak jarang sambatan dan urunan merupakan jalan yang dipilih. 

Diiringi semangat ideal khas mahasiswa, usaha yang bisa dibilang tidak ringan tersebut memang selaras dengan ekspektasi besar yang telah tertanam di benak mereka. Atas nama eksistensi dan semangat untuk membantu generasi masa depan dalam menikmati pendidikan yang telah semestinya dapat dinikmati. Dengan kata lain, sekaligus meminggirkan anggapan sekedar pamer almamater atau tebar pesona ketika kembali ke daerah asal.


Memperkenalkan Ormada.
Bojonegoro merupakan daerah yang ditunjuk sebagai ruang atas aktivitas tersebut. Berarti pula menandakan bagian dari masyarakat Bojonegoro tidak sedikit yang menjadi mahasiswa dan tersebar di berbagai daerah. Di tempat mereka kuliah, mereka minimal berkumpul hingga membentuk wadah perkumpulan. Sudah menjadi jamaknya ketika wadah perkumpulan yang mengatasnamakan daerah nampak tidak mau seperti peribahasa “lupa kacang akan kulitnya”. Atau dalam artian, ketika tidak ingin melupakan asalnya maka juga harus melakukan tindakan untuk (daerah) asalnya. Di sinilah perkumpulan tersebut mencoba menjadi institusi yang bernama ormada atau singkatan dari “ORGANISASI MAHASISWA DAERAH”

Mungkin kata ormada belum begitu menggema di tengah masyarakat, kurang terdengar di sesama organisasi non-pemerintah, maupun sepintas samar-samar terlihat oleh pemerintah daerah. Namun realitas mengatakan sebaliknya. Menunjuk pada nama ABC Unair, BSB UB, Maestro STAN, Himabo UM, SPMB UI, FKMB Surabaya, COBS UTM, Meliwis Putih UMM, IMAGO Jogja dan masih banyak yang lain merupakan sodoran organisasi yang tidak sekedar nama, namun juga menyimpan potensi besar dengan idealisme dan aktivitasnya. Contoh kegiatan di atas menunjukkan geliat positif ormada yang sedang dan akan terus dibangun. Sering ditambah penyelenggaraan simulasi ujian masuk perguruan tinggi maupun simulasi ujian akhir nasional semakin melengkapi kegiatan ormada dalam sisi praksis di bidang pendidikan. Di luar itu, pembelajaran pemberdayaan melalui program bakti sosial, mengadakan berbagai perlombaan dan seminar merupakan contoh inisiasi kegiatan yang merambah pada fokus dan lokus yang lebih luas. Sebagai upaya transformasi pola pikir masyarakat se
kaligus bagian tak terpisahkan setelah mempelajari realita yang sedang terjadi di daerah. 

Sebagai Modal Sosial 
Keberadaan ormada dengan segala aktivitasnya tentu tidak berada dalam ruang hampa. Kemampuan untuk berjalan sendiri dengan inisiatif sendiri akan semakin dirasakan urgensinya tatkala betul-betul memahami perubahan konteks lingkungan sosialnya. Dalam tata pemerintahan yang tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah semata atau yang sering disebut dengan konsep governance, maka keberadaan organisasi masyarakat sipil – lebih-lebih yang menampung semangat kalangan muda – merupakan komponen strategis dan telah absah secara konsepsi ideal. 

Tidak cukup itu, peranan dalam sebuah arena terbuka diperkuat pula dengan perubahan titik tekan penyelenggaraan pemerintahan. Dari pusat ke daerah atau yang dikenal dengan desentralisasi. Desentralisasi yang membawa daerah berotonomi (baca: lebih leluasa), sejatinya bukan semata otonomi pemerintah daerah, melainkan juga otonomi bagi seluruh komponen daerah untuk secara bersama mengarahkan daerah pada kondisi yang lebih baik (Hoesin, 2009). Tak heran pula, lantas mencuatlah gema peran putera daerah. Dengan asumsi, siapa lagi yang mengetahui permasalahan dan jalan keluar yang harus dipilih kecuali orang dalam daerah itu sendiri. Bukan bermaksud membiakkan semangat primordial berlebih yang kadang dianggap kontra dengan nasionalisme, namun begitulah kondisi saat ini. Karenanya telah jelas kalau mampu dipahami relevansi ormada dalam dua konteks ruang sistem yang saling bertautan. 

Mengingat dengan berbagai kegiatan yang telah dijalankan selama ini, ormada sejatinya telah menjadi modal sosial yang cukup mumpuni. Sebagaimana konsepsi modal sosial yang dilontarkan Fukuyama (1994), yaitu “serangkaian nilai-nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara anggota-anggota atau sebuah kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka”. Adanya kegiatan, minimal telah membuktikan ormada menjadi ruang kerjasama bagi anggotanya. Dalam hal yang lebih mendasar, anggota bergerak bukanlah tanpa sebab. Artinya ormada telah menjadi ruang kesepakatan akan nilai dan norma yang mampu menggerakan anggotanya secara sukarela dan nampak tidak menghiraukan kendala yang mengitari, termasuk jarak. Urgensi peran putera daerah maupun minimal eksistensi organisasi adalah contoh pilihannya.

Kandungan potensi besar dalam ruang sistem yang mendukung rasanya akan berfaedah parsial jika tidak disertai sinergi dengan aktor lain dalam daerah. Terlebih saling tubruk kepentingan tetap merupakan kekhawatiran yang menggelayut. Dalam definisi modal sosial yang dinyatakan Putnam dalam Jhon Field (2010), telah jelas bahwa “bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi”. Tatkala ormada telah mampu menyepakati nilai dan norma, membangun jaringan dan kepercayaan antar sesama anggota, maka sudah sepantasnya tidak berhenti sampai di situ. Dengan kata lain, sudah saatnya untuk membangun jejaring antar pemangku kepentingan hingga menginisasi terbentuknya sikap saling percaya sebagai pelumas yang menyokong keluwesan dan efektifnya perjalanan pembangunan daerah. Dalam konteks Bojonegoro, hal itu semua berdasar, sekaligus untuk mewujudkan cita-cita seperti: “Menuju Bojonegoro Matoh”.

Aplikasinya, bukankah kegiatan briefing, simulasi ujian nasional dan SM-PT, bakti sosial, seminar dan berbagai macam perlombaan edukatif merupakan bagian dari upaya realisasi “learning society” sebagaimana telah didengungkan bupati kita. Dan tentunya bisa dinilai pula, realitas di atas, apakah sudah sesuai atau belum dengan nukilan lagu Bojonegoro matoh yang berbunyi: “tunas-tunas, muda tumbuh sumbur, dan semangat selalu lahir trobosan. Dalam semua lini kehidupan, saling mencinta, senafas dan sejiwa”.  

Lantas simpulannya, menjadi sadar adalah sebuah pengharapan besar tatkala jaman hadir untuk menggugah. Minimal ormada terus sadar dengan potensinya, sadar pula untuk menjadi relevan dalam ruang dan waktu yang mengitarinya. Maupun kesadaran kolektif yang menjadikan elemen satu dengan lainnya saling lirik, hingga muncul saling ajak untuk bergandeng tangan. Lantas, tidak ingin terlalu membuang kesempatan, maka pertanyaan tantangannya adalah: sudahkah kita berminat dan siap untuk bersinergi? Sinergitas aksi-kontribusi yang dibangun antara ormada, mahasiswa lokal, LSM, media masa, korporat, pemerintah daerah maupun masyarakat pada umumnya yang menjadi pemangku kepentingan dan merasa bertanggung jawab bagi kemajuan Bojonegoro. Atau jika meminjam semboyannya IMAGO, sebagai upaya untuk mewujudkan semangat “Saiyeg Saeka Praya, Makarya Kagem Bojonegoro”.


Oleh : Danang Wahyuhono (mahasiswa Administrasi negara UGM)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk