.::Pengumuman Hasil Try Out IMAGO Simultan Nasional 2015::.

Briptu dan Potret Kelatahan Budaya

imago.or.id - Belakangan public Inadonesia dilanda keriuhan dan kecengangan. Pasalnya, belum selesai isu kontroversi pembangunan gedung DPR muncul kasus penilapan uang nasabah Citibank yang dimotori seorang jelita Malinda Dee. Namun menariknya, disaat-saat situasi yang sedang memanas, justru Briptu Norman seorang anggota brimob di Gorontalo muncul dengan video lipsing-nya menyanyikan lagu India yang menyebar luas di seantero negeri ini. Kehadiran video lipsing Briptu di tengah kegaduhan dan keriuhan bangsa yang semu ini, bagaikan oaese tersendiri bagi masyarakat tanah air.

Bagimana tidak, ketika khalayak melulu disodori dan dicekoki berita-berita yang membengkakkan telinga, tiba-tiba aksi heboh Briptu menyeruak. Aksi yang terbilang konyol itu bagaimanapun bisa diistilahkan sebagai alternatif untuk merefres kejenuhan otak bangsa ini. Setidaknya kasus serupa pernah terjadi pada kasus angket Century dan Anggodo. Tatkala para petinggi-petinggi negeri ini sibuk dan tidak kelar-kelar menuntaskan kasus Century dan Anggodo, tanpa diduga-duga muncul dua sejoli Sinta-Jojo. Kehadiran Sinta-Jojo dengan lipsingnya menyanyikan lagu keong racun, membuat semua perhatian tertuju pada Sinta-Jojo dengan keong racungnya.

Lantas, dimana kemudian kasus-kasus yang diseriusi sebelumnya, seperti Century, Gayus, dan penggelapan nasabah bank? Dari dua pengalaman yang pernah ada  di negeri ini, ada kemungkinan besar bahwa sesungguhnya kehadiran fenomena-fenomena tersebut, hanyalah sebuah realitas budaya yang sengaja digelontorkan untuk mengalihkan isu wacana nasional. Mungkinkah demikian? Masalahnya sangat kurang rasional, manakala setiap ada hal-hal pelik menyangkut persoalan bangsa, kasus-kasus lain mencuat.

Wacana sangsi dan hukuman yang digulirkan pihak brimob kepada Briptu, langsung mendapat respon dari masyarakat. Hasilnya berbagai elemen secara berbondong-bondong membuat gerakan melalui jejaring social facebook mendukung Briptu agar tidak dikenakan sangsi. Entah mengerti atau tidak, apa yang sesungguhnya mereka perjuangkan. Memang, dalam konteks ini mentality of solidaritys sangat baik untuk dilakukan, akantetapi dalam perspektif pembacaan wacana, bukankah dilain pihak ada sesuatu isu/kasus lain yang sesungguhnya telah terabaikan. Misalnya pembangunan gedung DPR dan penggelapan nasabah oleh Melinda?

Melihat realitas semacam itu, betapa dangkalnya konstruksi pemikiran bangsa ini. Artinya, hal-hal sepele menjadi perkara yang luar biasa. Ada orang membawa buku dituduh membawa bom. Orang memetik buah milik tetangga, dianggap sudah melanggar HAM berat. Ada orang-orang berjenggot panjang dicurigai teroris. Sedangkan korupsi dan penjarahan uang rakyat seperti yang dilakukan oleh Gayus dan para anggota DPR, dianggap sesuatu yang kurang penting. Inilah realitas mentalitas kebudayaan yang terbangun di negeri. Benar kiranya apa kata Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bahwa bangsa ini sudah terserang sindrom penyakit su’udzon yang akut.

Budaya Latah

Hadirnya aksi-aksi seperti Briptu dan Sinta-Jojo, merupakan potret bagaimana pola kebudayaan masyarakat Indonesia adalah latah. Ketika ada sesuatu yang baru semuanya ikut ramai-ramai menirunya. Konstruk budaya yang latah ini manakala ada hal yang sebenarnya biasa, dan saat media secara beramai-ramai meliput, public pun ikut terkaget-kaget, bukan kaget karena faktor lain tapi lebih dipengaruhi masalah banyaknya animo khalayak yang antusias kemudian semuanya ikut-ikutan. Bahkan kondisi tersebut sudah mengakar kuat menjadi semacam patologi di masyarakat.

Apa gerangan yang mempengaruhi budaya latah di Indonesia ini kian mewabah? Tentunya ini ada sesuatu yang salah dalam mentalitas yang dibangun, entah karena lemahnya mentalitas yang ada, ataupun ada pengaruh lain. Koentjoroningrat (1993) setidaknya menyebutkan ada dua hal yang mempengaruhi mentalitas bangsa Inidonesia. Pertama, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan dan sikap mental terhadap lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran masyarakat, karena terpengaruh atau bersumber kepada system nilai budaya sejak beberapa generasi yang lalu.

Kedua, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan dan sikap mental lingkungan yang baru timbul sejak zaman revolusi dan yang sebenarnya tidak bersumber pada nilai system budaya (baca: kebudayan mentalitas dan pembangunan, 32:33). Konstruksi social masyarakat yang sudah terlanjur mengakar kuat itulah yang menimbulkan betapa rentannya publik Indonesia tatkala disodorkan pada fenomena baru menjadi gagap. Atau yang dalam istilah lainnya di sebut dengan fenomena kejutan budaya (Gugun El-Guyani: 2011).

Yang tidak kalah mengherankan lagi, kasus Briptu yang banyak diliput media membuat berbagai pihak mulai dari politisi hingga perwira polisi, semuanya seakan-akan mencari simpatisan dan ber-ikut serta riuh mendukung. Padahal dalam kasus sebelumnya mereka diam, dan sebaliknya menentang. Terbukti Briptu yang rumornya akan dihukum justru ketika melihat luasnya dukungan masyarakat yang menolak, para politisi ikut-ikutan membantu, dan sepertinya memasang muka dan badan untuk memperebutkan lebel sebagai pahlawan. Bahkan karena ulahnya tersebut, Briptu mendapatkan kehormatan berupa kenaikan jabatan, sungguh betapa kian sulit dimengerti bangsa ini.

Geli rasanya ketika membayangkan bangsa ini kedepan, bagaimana misalnya nanti fenomena sosial lipsing yang memakai media dunia maya kelak dijadikan ajang kampanye oleh para politisi. Bisa dibayangkan alangkah lucunya, apabila nantinya para politisi yang haus kekuasaan tersebut, untuk menarik simpatisannya memakai cara dengan membuat ulah konyol yang controversial.

Pasalnya, tidak menutup kemugkinan dengan melihat realitas yang berkembang, rakyat Indonesia lebih cenderung tertarik dan mendukung terhadap fenomena yang controversial, contohya dengan lipsing yang dipublikasikan lewat Youtube. Buktinya marak di jejaring social gerakan satu juta facebooker mendukung Briptu. Artinya langkah-langkah seperti Briptu bisa saja dijadikan sebagai alternative jitu para politisi negeri ini guna memperoleh simpati. Menarik bukan?

Oleh : M . Romandhon MK* Aktivis Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB), Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Partner campus jogja

ugm amikom uny uii

Partner campus jogja

uin suka akprind imago uty

Partner campus jogja

umy aajy usd upnyk